Wednesday, June 4, 2014

Cerpen: Ambivalensi Kata Hati


Ambivalensi Kata Hati

Aku Gelisah. Sedikit was-was. Seakan pembuluh darah di seluruh tubuhku memanas, entah karena malam ini kurang tidur atau sebab lain. Mungkin aku yang terlalu berpikir negatif. Saat perempuan paruh baya bersama ibunya yang sedang kulayani itu justru beranjak dari tempat duduknya dan pindah ke kursi belakang. Aku lanjutkan memproses surat pelaporannya, sambil sedikit melirik apa yang akan mereka lakukan sampai harus pindah tempat duduk. Mereka melakukan gerak gerik yang kubayangkan sedang menyiapkan uang untuk dimasukkan ke dalam amplop. Aku takut setelah aku selesaikan merekam dan mencetak tanda terima laporan, mereka akan memberiku tanda terima kasih. Astaghfirullah, kenapa aku berperasangka buruk kepada orang tua itu.

Kotak demi kotak di aplikasi dropbox perekaman aku isi. Sampai klik cetak ternyata tidak terlalu lama, karena sudah hampir sebulan aku bertugas monoton seperti ini. Tidak perlu lagi melihat keyboard saat mengetik. Jari jariku seakan punya mata sendiri untuk memilih tombol keyboard mana yang harus dipencet. Tetapi dalam waktu yang sebenarnya  singkat itu, dipikiranku sedang berkecamuk. Seakan ada percakapan yang terjadi di ruangan rapat di otakku. Padahal belum tentu yang kukhawatirkan terjadi. Tapi bagaimana jika mereka benar-benar akan memberiku amplop sebagai simbolis terima kasih. Berapa nominal uang yang ada di dalamnya. Mungkin tak seberapa jika dibandingkan biaya hidupku di kota kecil yang terpisah jarak 200 km dari tempat asalku. Tapi cukuplah untuk sekedar beli makan atau buat beli sebungkus rokok.

Darn!. Aku geleng-gelengkan kepalaku dengan keras, bagaimana bisa aku melanjutkan pikiranku seperti itu. Mungkin benar biaya hidup di sini mahal dibandingkan dulu di kampung. Apalagi gaji yang belum turun penuh sejak 6 bulan lalu, hanya uang tunggu yang jumlahnya tak seberapa, kadang masih perlu minta ke orang tua lagi. Memalukan memang, sudah lulus kuliah, sudah kerja, masih minta tambahan lagi ke orang tua. Tapi lebih memalukan lagi kalau sampai aku menerima tambahan dari orang yang entah siapa, hanya kebetulan bertatap muka hari ini. Aku punya integritas. Aku harus menguatkan hatiku untuk tidak menerima imbalan apapun, aku sudah punya gaji sendiri dari pemerintah. Jelas terpampang di pintu masuk, “Segala bentuk pelayanan di kantor ini tidak dipungut biaya”. Tulisan yang selain ditujukan kepada mereka yang membutuhkan pelayanan di sini, juga untuk petugas seperti aku agar tidak menerima tanda terima kasih, baik dalam bentuk uang atau natura. Senyum dan ucapan terima kasih sudah cukup. Tidakpun tak apa karena sudah tugas kami melayani. Ya benar itu dia. Sudah tugasku untuk membantu melayani mereka.

Percakapan di kepala yang terasa panjang. Dan tet. Kertas tanda terima sudah keluar dari mulut printer. Kuambil dengan tangan kiriku, kupanggil nama yang tertera dengan hati-hati. Iya hati-hati, aku berusaha sewajar mungkin, seperti biasa melayani dengan orang lain di hari-hari kemarin, agar tidak menimbulkan kode yang bisa disalah terka oleh mereka. Selesai memanggil, ternyata yang ibu paruh baya justru keluar ruangan dan  ibunya yang sudah renta yang berjalan tertatih menghampiriku.

“Laporannya sudah kami proses, ini bu tanda terima laporan ibu, silahkan ibu simpan baik-baik”, demikian kataku.

Dan dengan sekelebat tanpa kata secuilpun, ibu itu mengeluarkan amplop dari tangan kanannya yang sudah keriput, dimasukkan ke bawah kertas di mejaku dan bersiap saja pergi. “Darn Shiit!”, hatiku berteriak.

***

Dingin. Aku tergesa-gesa lari dari kamar mandi, menuju ruangan ujung belakang kantor tempat pakaianku berada. Kukenakan kemeja biru dan celana hitam sesuai aturan seragam hari ini. Sambil merapikan baju, aku menuju ke meja karena di situ sudah ada beberapa gelas teh. Keren sekali mas Hendra, cleaning service kantor, pagi-pagi sudah menyiapkan teh. Mumpung masih hangat. Kuminum pelan-pelan sambil duduk menghadap komputer. Kulihat rekanku si Aden juga sudah duduk santai menikmati sarapan. Sendoknya tergeletak saja di atas nasi kuning, karena tangan kanannya memegang mouse, scrolling, sedang matanya fokus melihat beranda facebook naik turun.

 Kulihat di layar monitor jam masih pukul 07.42. Rambutku masih basah belum aku sisir, kaki masih pakai sendal. Tapi sudah ada beberapa orang yang masuk ke ruangan. Aku mempersilahkan mereka duduk dulu, mengulur waktu untuk aku merapikan meja dan menyiapkan komputer. Pelayanan aku buka, walaupun sesuai prosedur harusnya buka jam 08.00. Aku tidak mau terlalu kaku kepada aturan yang mempersulit. Terlebih yang datang adalah ibu yang sudah tua, rambutnya sudah tidak berpigmen, putih seperti kapas. Dia datang ditemani ibu paruh baya, rambutnya pun sudah sebagian memutih.

Kupersilahkan mereka untuk duduk di kursi depan. Kutanyakan keperluannya, walau sebenarnya aku sudah tahu mereka mau laporan tahunan.

“Selamat pagi ibu, ada yang bisa saya bantu”, kalimat pembuka pertama pagi ini.

“Pagi pak, nganu, mau laporan, bener di sini tempatnya?”, Kata ibu yang lebih tua.

“Benar bu di sini tempatnya, sudah di isi belum formulir laporannya? Coba saya lihat”.

“Formulir? Belum pak, formulir yang mana ya”,

Aku dipanggil Pak oleh ibu tadi, padahal kumis pun tak punya, apalagi istri dan anak. Kuambilkan formulir yang sesuai, aku jelaskan cara pengisiannya. Ternyata ibu itu masih bingung. Data laporannya belum minta ke tempatnya bekerja. Setelah melalui proses tanya jawab, ternyata ibu tadi seorang pensiunan dan tidak membawa laporan pensiunannya. Ibu itu kalut ketika kukatakan harus membawa laporan dari lembaga pensiunannya.

“Kalau begitu, ada nomer pensiun ibu tidak? Kalau ada nanti bisa saya carikan data ibu di website lembaga pensiunan”. Kataku seperti biasa, sudah kuprediksi juga hal seperti ini.

“Duh, bawa tidak ya, aku lihat dulu di tas mas barangkali ada”.

Dikeluarkan semua kertas-kertas yang dia persiapkan dari rumah. Di perlihatkan satu-satu kepadaku agar diperiksa, kebanyakan entah kertas apa, kertas yang dicari ternyata tidak terbawa.

“Tidak ada juga ya bu, rumah ibu di mana? Kalo tidak coba telpon yang di rumah untuk membacakan nomer pensiun ibu”. Kataku mencoba memberi solusi

“Rumah ibu dekat pak, di jalan Widarapayung, tapi rumah lagi kosong, sedang berangkat kerja semua”. Ibu itu menjawab, kelihatan di mukanya, akumulasi rasa kalut.

“Kalau begitu coba ibu tulis nama ibu beserta alamat rumah, saya coba cari pakai nama ibu di database kami, barangkali ketemu, tapi mungkin agak lama ya bu”.

Kusodorkan kertas untuk dipakai ibu itu menulis nama dan alamatnya. Kucari nama ibu tadi, ada puluhan nama yang keluar. Aku baca satu-satu alamatnya, barangkali ada yang presisi. Ketemu. Alamatnya sama dan ada nomer pensiuannya. Segera aku copy dari file lokal dan paste ke website pensiun. Ketemu juga rincian data pensiunannya. Aku cetak sekalian.

“Ada bu, ketemu yang alamatnya sama, sudah saya cetak  data pensiunannya, nanti ini yang ibu salin ke formulir laporan yang ibu ambil tadi, cara pengisiannya seperti yang sudah saya jelaskan”. Kataku sambil mengulurkan kertas hasil cetak.

Ibu tadi menerima kertas dariku, diamatinya dengan mata yang menyipit, semakin dekat ke mata semakin sipit mata ibu tadi.

“Aduh pak, ibu juga lupa tidak bawa kacamata, tulisannya susah dibaca, bisa dibantu isikan tidak?”.

“Wah gak boleh bu, ibu harus mengisi sendiri, coba dipandu sama anak ibu”.

Ternyata keduanya sama-sama sudah tidak bisa membaca tulisan dengan jelas, matakupun sebenarnya minus, tapi masih bisa membaca tulisan. Kulihat mereka berusaha keras menulis. Menulis nama saja sampai hurufnya keriting karena menulis dengan sangat pelan. Tapi sesuai aturan, pegawai tidak boleh mengisikan, hanya boleh memandu. Begitulah aturan. Tapi apa iya di realita, melihat ibu-ibu seperti itu hanya kubiarkan saja. Aku bayangkan kalau ibuku sendiri yang di depanku. Datang dengan tujuan yang baik, taat lapor. Ketika yang masih muda saja jarang yang lapor, ibu ini dengan semangat paginya sudah susah payah datang ke sini. Tidak tega juga kalau ibu itu aku suruh pulang, agar dituliskan saja sama cucunya yang mungkin seumuran denganku. Ada rasa iba di hatiku melihat ibu yang kulayani menulis.  Andai kata apa yang aku pikirkan ini ditulis, mungkin sudah sampai satu paragraf panjang, sementara ibu tadi menulis namanya sendiri belum selesai.

“Sini bu, aku tuliskan saja, ibu cukup tanda tangan”, Tiba-tiba keluar kata ajaib dari mulutku tanpa sadar.

Dan ibu tadi dengan agak tertegun, mungkin kaget dengan ucapanku yang tiba-tiba. Ibu tadi tidak kaget sendirian, aku juga merasa kaget dengan ucapanku sendiri. Dia menyerahkan formulirnya untuk aku isi, kemudian berdiri dan pindah tempat duduk ke belakang.

***

Aku dengan cepat berdiri. Aku tidak tahu kenapa aku berdiri.

“Maaf bu sebentar, tapi saya tidak bisa menerima amplop ini” kataku dengan cepat

“Tak apa pak, ambil saja, saya ikhlas kok”. Kata ibu itu membujuk.

“Tidak usah bu, saya juga iklhas membantu ibu, ibu simpan lagi saja,” kataku

“ Jangan gitu pak, sungguh saya ikhlas, bapak sudah banyak membantu saya” ibu itu masih bersikeras

“ Terimakasih atas niat baik dan keikhlasan ibu, tetapi saya tidak berani mengambil amplop ini, bukan apa-apa, karena aturan kode etik di kantor kami melarang menerima hadiah dalam bentuk apapun. Segala jenis pelayanan di kantor ini tidak dipungut biaya, jadi mohon kerjasama dengan ibu juga agar kita sama-sama bisa menaati, sekali lagi saya mohon maaf.”, kataku meluncur dengan deras.

Tidak tahu siapa yang membisiki sampai aku bisa berkata demikian, hati ini yang sebenarnya berbicara. Karena bukan kata-kata yang aku pikir dan siapkan sebelumnya, mungkin pernah dengar atau baca di suatu buku. Walaupun ada rasa tidak enak menolak kesungguhan ibu itu, kelihatan dari raut wajahnya, ibu itu merasa sangat terbantu, sehingga ingin memberiku amplop tanda ucapan terima kasih. Tapi kalau yang ini aku harus tegas, tidak boleh tergiur. Apalagi aku adalah lini depan pelayanan. Segala tindak tandukku akan dianggap pencerminan kantor secara keseluruhan. Bagiku ini sama saja dengan gratifikasi bahkan suap. Jika kuterima sekarang, nantinya akan mempengaruhi tindakanku di masa selanjutnya. Entahlah yang penting akhirnya ibu itu bisa mengerti, dia ambil kembali amplopnya, dan tersenyum mengucapkankan terimakasih sebelum pergi. Perasaanku lega, cobaan yang indah baru saja selesai kuhadapi.

Kutengok rekanku si Aden di meja sebelah. Dia tersenyum-senyum, di pasti melihat insiden yang barusan terjadi.

“Apa pak, lihat ya? Bagaimana tanggapan bapak menghadapi fenomena tadi?”, tanyaku sambil bercanda, tapi aku sungguh ingin mendapat jawaban.

“Aku lihat dari awal, dari menuliskan laporan tadi. Kau tahu, orang yang melanggar aturan adalah sampah, tapi yang membiarkan orang tua bersusah payah menulis tanpa pakai kacamata lebih buruk dari sampah”, Candanya juga.

“Kamfreet, niru gaya tobi kamu. Aku tahu yang lebih buruk lagi”. Kataku mau menyimpulkan

“Iya, orang yang melakukan praktek nepotisme, kolusi dan korupsi adalah seburuk-buruknya sampah”, Dia menjawab seperti yang aku pikirkan

“Kebanyakan ucapan sampah hari ini, cukuplah aku jadi sampah, jangan diperburuk lagi”. Timpalku.


Dia tersenyum, aku tersenyum puas.



0 komentar: